Revolusi industri merupakan proses perubahan secara besar
pada aspek-aspek seperti teknologi, manufaktur, transportasi, dan mempunyai
dampak yang sangat kuat terhadap kondisi sosial maupun ekonomi disuatu negara.
Hingga saat ini, dunia sudah mengalami tiga kali revolusi industri, revolusi generasi
pertama melahirkan sejarah ketika tenaga manusia dan hewan digantikan oleh
kemunculan mesin. Salah satunya adalah kemunculan mesin uap pada abad ke-18.
Revolusi ini dicatat oleh sejarah berhasil mengerek naik perekonomian secara
dramatis di mana selama dua abad setelah Revolusi Industri terjadi peningkatan
rata-rata pendapatan perkapita Negara-negara di dunia menjadi enam kali lipat. Diantara akhir abad ke-19 dan dua dekade pertama pada abad
ke-20, dengan meluasnya distribusi listrik, komunikasi, sehingga terciptanya division
of labour, produksi massal, dan revolusi industri kedua. Pada tahun 1950-an,
revolusi industri ketiga terjadi adanya pengembangan pada sistem digital,
teknologi informasi, sehingga muncul cara baru untuk menghasilkan output, memproses input, dan berbagi
informasi.
Revolusi industri generasi keempat ini ditandai dengan kemunculan
superkomputer, robot pintar, kendaraan tanpa pengemudi, editing genetik dan
perkembangan neuroteknologi yang memungkinkan manusia untuk lebih
mengoptimalkan fungsi otak. Hal inilah yang disampaikan oleh Klaus Schwab,
Founder dan Executive Chairman of the World Economic Forum dalam bukunya The
Fourth Industrial Revolution.
Perkembangan teknologi yang sangat pesat saat ini bukan lagi
menjadi kelanjutan untuk revolusi industri ketiga, melainkan menjadi jalan
untuk datangnya revolusi industri 4.0. Davis (World Economic Forum, 2016)
mengartikan industri 4.0 ini sebagai cyber-physical systems yang berarti teknologi bukan lagi menjadi ‘alat’ melainkan
tertanam pada kehidupan masyarakat. Artificial Intelligence, nanotechnology,
biotechnology, autonomus vehicles, dan 3D printing merupakan contoh semakin
luasnya perkembangan teknologi saat ini. Schwab (World Economic Forum, 2016)
menjelaskan bahwa transformasi teknologi saat ini bukan perpanjangan dari
revolusi industri ketiga, melainkan kedatangan revolusi industri keempat.
Dibandingkan dengan revolusi industri terdahulu yang berubah secara linier,
industri 4.0 berubah secara eksponensial sehingga dapat mengganti sistem
produk, manajemen, bahkan kepemerintahan secara dalam.
Industri 4.0 menghasilkan "pabrik cerdas". Di dalam
pabrik cerdas berstruktur moduler, sistem siber-fisik mengawasi proses fisik,
menciptakan salinan dunia fisik secara virtual, dan membuat keputusan yang
tidak terpusat. Lewat Internet untuk segala (IoT), sistem siber-fisik
berkomunikasi dan bekerja sama dengan satu sama lain dan manusia secara
bersamaan. Lewat komputasi awan, layanan internal dan lintas organisasi
disediakan dan dimanfaatkan oleh berbagai pihak di dalam rantai nilai.
Selain itu, di Indonesia sendiri sudah membuat sebuah strategi
untuk menghadapi Industri 4.0 ini. Yaitu dengan adanya Making Indonesia 4.0 sebagai sebuah roadmap (peta jalan) yang terintegrasi untuk mengimplementasikan sejumlah strategi dalam memasuki era Industry
4.0. Guna mencapai sasaran tersebut, langkah kolaboratif ini perlu melibatkan
beberapa pemangku kepentingan, mulai dari institusi pemerintahan, asosiasi dan
pelaku industri, hingga unsur akademisi. Dan sektor industri nasional
perlu banyak pembenahan terutama dalam
aspek penguasaan teknologi yang menjadi kunci penentu daya saing di era
Industri 4.0. Adapun lima teknologi utama yang menopang pembangunan sistem
Industri 4.0, yaitu Internet of Things, Artificial Intelligence, Human–Machine
Interface, teknologi robotik dan sensor, serta teknologi 3D Printing.
Revolusi industri 4.0 tidak lepas dari adanya tranformasi
teknologi yang semakin berkembang pesat yang menjadikan teknologi ini dikenalai
oleh kalangan masyarakat. (Davis, 2016) Seiring berjalannya waktu teknologi
yang terus berubah akan mendorong semakin besarnya tekanan akan persaingan
tenaga kerja yang memperburuk ketidaksetaraan, karena pendapatan pekerja
berkurang (Basu, 2016). Revolusi industri 4.0 dapat menghasilkan
ketidaksetaraan yang lebih besar, terutama yang berpotensi mengganggu pasar
tenaga kerja. Perubahan dari labor-intensive menjadi otomasi dapat memperburuk
kesenjangan antara pengembalian modal dan upah tenaga kerja. (Brynjolfsson dan
McAfee, 2016) Hal inilah yang menyebabkan upah tenaga kerja diposisi yang sama
bahkan terus menurun akibat transformasi teknologi (Schwab, 2016) Lalu, yang terakhir
adalah bagaimana konsumen di era modern tidak lagi hanya menginginkan produk
berupa barang, tetapi juga menuntut adanya layanan jasa yang akan membuat
tatanan hidupnya jauh lebih mudah dan lebih menguntungkan bagi masyarakat (Soca,
2017).
Manfaat
Revolusi Industri 4.0
1. Dengan adanya revolusi yang berbasis teknologi
digital ini, masyarakat bisa menggunakan produk yang semakin canggih;
2. Produk-produk yang dihasilkan dalam
negeri bisa lebih bervariasi lagi;
3. Masyarakat semakin mudah untuk
mengetahui teknologi terkini;
4. Menghemat biaya.
Dari adanya sebuah manfaat, pasti ada
pula kekurang dari Revolusi Industri 4.0 itu sendiri. Namun juga banyak kesempatan
positif yang bisa kita pakai untuk menjadikan sebagai pemenang. Apabila kita
bisa memanfaatkan peluang-peluang ini.
Teknologi
Cyber-Physical, misalnya ditandai dengan munculnya Autonomous Vehicle, mobil
tanpa awak. Three-D-Printing, yang bisa membuat barang secara sempurna dengan
cara yang cepat dan murah dan Advanced Robotic yang bisa mengambil alih peran
manusia.
Ada pula
Internet-of-Things, Big Data, Artificial Intellegence dan Virtual Reality yang
ternyata terus berkembang, yang mulai diaplikasikan dalam Block-chain juga
dalam Crypto-currency yaitu mata uang yang tanpa
bank sentral, yang saat ini sedang diperebutkan banyak orang. Dan lain-lain.
Revolusi Industri 4.0 merupakan tantangan besar yang harus dihadapi saat ini karena tidak hanya mempengaruhi pasar, tetapi mempengaruhi sosial dan ekonomi negara tersebut.
Jadi, sudahkah kita semua siap menghadapi Industri 4.0?
*diambil dari berbagai sumber